A. Definisi Emosi
Secara etimologis emosi berasal dari kata Prancis emotion, yang berasal lagi dari emouvoir,‘exicte’ yang berdasarkan kata Latin emovere, artinya keluar. Dengan demikian secara etimologis emosi berati “bergerak keluar”.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa emosi adalah
suatu keadaan kejiwaan yang mewarnai tingkah laku. Emosi juga diartikan
sebagai suatu reaksi psikologis dalam bentuk tingkah laku gembira,
bahagia, sedih, berani, takut, marah, muak, haru, cinta, dan
sejenisnya. Biasanya emosi muncul dalam bentuk luapan perasaan
dan surut dalam waktu yang singkat. Hathersall (1985) merumuskan
pengertian emosi sebagai suatu psikologis yang merupakan pengalaman
subyektif yang dapat dilihat dari reaksi wajah dan tubuh. Misalnya
seorang remaja yang sedang marah memperlihatkan muka merah, wajah seram,
dan postur tubuh menegang, bertingkah laku menendang atau menyerang,
serta jantung berdenyut cepat.
Selanjutnya Keleinginna and Keleinginan (1981) berpendapat bahwa emosi
seringkali berhubungan dengan tujuan tingkah laku. Emosi sering
didefinisikan dalam istilah perasaan (feeling), misalnya
pengalaman-pengalaman afektif, kenikmatan atau ketidaknikmatan, marah,
takut bahagia, sedih dan jijik.
Emosi merupakan perpaduan dari beberapa perasaan yang
mempunyai itensitas yang relatif tinggi, dan menimbulkan suatu
gejolaksuasana batin, suatu stirred up or aroused state of the human organization.
Dari berbagai pengertian emosi di atas dapat diambil
kesimpulan bahwa emosi merupakan reaksi psikologi seseorang dalam
bertindak atau melakukan suatu tindakan, misalnya menangis, marah,
benci, takut, sedih, haru, cinta, muak, bahagia dan lain-lain.
B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Emosi
1. Faktor Internal
Umumnya emosi seseorang muncul berkaitan erat dengan apa yang dirasakan
seseorang secara individu. Mereka merasa tidak puas, benci terhadap diri
sendiri dan tidak bahagia. Adapun gangguan emosi yang mereka alami
antara lain adalah:
a. Merasa
tidak terpenuhi kebutuhan fisik mereka secara layak sehingga timbul
ketidakpuasan, kecemasan dan kebencian terhadap apa yang mereka alami.
b. Merasa dibenci, disia-siakan, tidak mengerti dan tidak diterima oleh siapapun termasuk orang tua mereka.
c. Merasa
lebih banyak dirintangi, dibantah, dihina serta dipatahkan dari pada
disokong, disayangi dan ditanggapi, khususnya ide-ide mereka.
d. Merasa tidak mampu atau bodoh.
e. Merasa
tidak menyenangi kehidupan keluarga mereka yang tidak harmonis seperti
sering bertengkar, kasar, pemarah, cerewet dan bercerai.
f. Merasa menderita karena iri terhadap saudara karena disikapi dan dibedakan secara tidak adil.
2. Faktor eksternal
Menurut Hurlock (1980) dan Cole (1963) faktor yang mempengaruhi emosi adalah :
a. Orang tua atau guru memperlakukan mereka seperti anak kecil yang membuat harga diri mereka dilecehkan.
b. Apabila dirintangi, anak membina keakraban dengan lawan jenis.
c. Terlalu
banyak dirintangi dari pada disokong, misalnya mereka lebih banyak
disalahkan, dikritik oleh orang tua atau guru, akan cenderung menjadi
marah dan mengekspresikannya dengan cara menentang keinginan orang tua,
mencaci maki guru, atau masuk geng dan bertindak merusak (destruktif).
d. Disikapi
secara tidak adil oleh orang tua, misalnya dengan cara membandingkan
dengan saudaranya yang lebih berprestasi dan lainnya.
e. Merasa kebutuhan tidak dipenuhi oleh orang tua padahal orang tua mampu.
f. Merasa disikapi secara otoriter, seperti dituntut untuk patuh, banyak dicela, dihukum dan dihina.
Nilai (value) merupakan rujukan dan keyakinan
dalam menentukan pilihan, ukuran untuk menentukan apakah sesuatu itu
baik atau buruk. Nilai adalah berupa norma, etika, peraturan,
undang-undang, adat kebiasaan, aturan agama, dan rujukan lainnya yang
memiliki harga dan dirasakan berharga bagi seseorang dalam menjalani
kehidupannya.
Nilai-nilai kehidupan adalah norma-norma yang berlaku
dalam masyarakat, misalnya adat kebiasaan dan sopan santun (Sutikna,
1988 : 5). Sopan santun, adat, dan kebiasaan serta nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila adalah nilai-nilai hidup yang menjadi
pegangan seseorang dalam kedudukannya sebagai warga negara Indonesia
dalam hubungan hidupnya dengan negara serta dengan sesama warga negara.
Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila yang termasuk dalam sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, antara lain:
1. Mengakui persamaan derajat, persamaan hak, dan persamaan kewajiban antara sesama manusia.
2. Mengembangkan sikap tenggang rasa.
3. Tidak semana-mena terhadap orang lain, berani membela kebenaran dan keadilan, dan sebagainya.
Moral adalah ajaran tentang baik buruk perbuatan dan
kelakuan, akhlak, kewajiban, dan sebagainya (Purwodarminto, 1957 : 957).
Dalam moral diatur segala perbuatan yang dinilai baik dan perlu
dilakukan, dan sesuatu perbuatan yang dinilai tidak baik dan perlu
dihindari. Moral berkaitan dengan kemampuan untuk membedakan antara
perbuatan yang benar dan yang salah. Dengan demikian, moral merupakan
kendali dalam bertingkah laku.
Sikap adalah keseluruhan dari kecenderungan dan
perasaan, pemahaman, gagasan, rasa takut, perasaan terancam dan
keyakinan-keyakinan tentang suatu hal. Sikap adalah kesiapan seseorang
untuk memperlakukan sesuatu objek. Dengan kata lain bahwa sikap itu
adalah kecenderungan bertindak pada seseorang.
Sikap berkaitan dengan motif dan mendasari tingkah laku
seseorang, dapat diramalkan tingkah laku apa yang dapat terjadi dan akan
diperbuat jika telah diketahui sikapnya. Sikap belum merupakan suatu
tindakan atau aktivitas, akan tetapi berupa kecenderungan (predisposisi)
tingkah laku. Jadi sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap
objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek
tersebut.
Menurut
Danel Suasanto, pertumbuhan ataupun perkembangan pada masa remaja
biasanya ditandai oleh beberapa perubahan-perubahan seperti dibawah ini :
1. perubahan Fisik
Pada
masa remaja terjadi pertumbuhan fisik yang cepat dan proses kematangan
seksual. Beberapa kelenjar yang mengatur fungsi seksualitas pada masa
ini telah mulai matang dan berfungsu. Disamping itu tanda-tanda seksual
sekunder telah mulai nampak pada diri remaja.
2. perubahan intelek
Menurut perkembangan kognitif yang dibuat oleh Jean Piaget, seorang
remaja telah beralih dari masa konkrit-operasional ke masa
formal-operasional. Pada masa konkrit-operasional, seseorang mampu
berpikir sistematis terhadap hal-hal atau obyek-obyek yang bersifat
konkrit, sedang pada masa formal operasional ia sudah mampu berpikir
se-cara sistematis terhadap hal-hal yang bersifat abstrak dan hipotetis.
Pada masa remaja, seseorang juga sudah dapat berpikir secara kritis.
3. Perubahan emosi
Pada
umumnya remaja bersifat emosional. Emosinya berubah menjadi labil.
Menurut aliran tradisionil yang dipelopori oleh G. Stanley Hall,
perubahan ini terutama disebabkan oleh perubahan yang terjadi pada
kelenjar-kelenjar hor-monal. Namun penelitian-penelitian ilmiah
selanjutnya menolak pendapat ini. Sebagai contoh, Elizabeth B. Hurlock
menyatakan bahwa pengaruh lingkungan sosial terhadap per-ubahan emosi
pada masa remaja lebih besar artinya bila dibandingkan dengan pengaruh
hormonal.
4. Perubahan sosial
Pada masa remaja, seseorang memasuki status sosial yang
baru. Ia dianggap bukan lagi anak-anak. Karena pada masa remaja terjadi
perubahan fisik yang sangat cepat sehingga menyerupai orang dewasa, maka
seorang remaja juga sering diharapkan bersikap dan bertingkahlaku
seperti orang dewasa. Pada masa remaja, seseorang cenderung untuk
meng-gabungkan diri dalam ‘kelompok teman sebaya’. Kelompok so-sial yang
baru ini merupakan tempat yang aman bagi remaja. Pengaruh kelompok ini
bagi kehidupan mereka juga sangat kuat, bahkan seringkali melebihi
pengaruh keluarga. Menu-rut Y. Singgih D. Gunarsa & Singgih D.
Gunarsa, kelompok remaja bersifat positif dalam hal memberikan
kesempatan yang luas bagi remaja untuk melatih cara mereka bersikap,
bertingkahlaku dan melakukan hubungan sosial. Namun kelompok ini juga
dapat bersifat negatif bila ikatan antar mereka menjadi sangat kuat
sehingga kelakuan mereka menjadi “overacting’ dan energi mereka
disalurkan ke tujuan yang bersifat merusak.
5. Perubahan moral
Pada masa remaja terjadi perubahan kontrol tingkahlaku
moral: dari luar menjadi dari dalam. Pada masa ini terjadi juga
perubahan dari konsep moral khusus menjadi prinsip moral umum pada
remaja. Karena itu pada masa ini seorang remaja sudah dapat diharapkan
untuk mempunyai nilai-nilai moral yang dapat melandasi tingkahlaku
moralnya. Walaupun demikian, pada masa remaja, seseorang juga mengalami
kegoyahan tingkah laku moral. Hal ini dapat dikatakan wajar, sejauh
kegoyahan ini tidak terlalu menyimpang dari moraliatas yang berlaku,
tidak terlalu merugikan masyarakat, serta tidak berkelanjutan setelah
masa remaja berakhir.
Menurut teori Kohlberg telah menekankan bahwa perkembangan moral
didasarkan terutama pada penalaran moral dan berkembang secara bertahap.
Dalam Teori Kohlberg mendasarkan teori perkembangan moral pada
prinsip-prinsip dasar hasil temuan Piaget. Menurut Kohlberg sampai pada
pandangannya setelah 20 tahun melakukan wawancara yang unik dengan
anak-anak. Dalam wawancara , anak-anak diberi serangkaian cerita dimana
tokoh-tokohnya menghadapi dilema-dilema moral. Berikut ini ialah dilema
Kohlberg yang paling populer:
” Di Eropa seorang perempuan hampir meninggal akibat sejenis kanker khusus. Ada satu obat yang menurut dokter dapat menyelamatkannya. Obat tersebut adalah sejenis radium yang baru-baru ini ditemukan oleh seorang apoteker di kota yang sama. Biaya membuat obat ini sangat mahal, tetapi sang apoteker menetapkan harganya 10X lebih mahal dari biaya pembuatan obat tersebut. Untuk pembuatan 1 dosis obat ia membayar $ 200 dan menjualnya $2.000. Suami pasien perempuan, Heinz pergi ke setiap orang yang ia kenal untuk meminjam uang, tetapi ia hanya dapat mengumpulkan $1.000 atau hanya setengah dari harga obat. Ia memberitahu apoteker bahwa istrinya sedang sakit dan memohon agar apoteker bersedia menjual obatnya lebih murah atau membolehkannya membayar setengahnya kemudian. Tetapi sang apoteker berkata ”tidak, aku menemukan obat, dan aku harus mendapatkan uang dari obat itu.” Heinz menjadi nekat dan membongkar toko obat itu untuk mencuri obat bagi istrinya.”
” Di Eropa seorang perempuan hampir meninggal akibat sejenis kanker khusus. Ada satu obat yang menurut dokter dapat menyelamatkannya. Obat tersebut adalah sejenis radium yang baru-baru ini ditemukan oleh seorang apoteker di kota yang sama. Biaya membuat obat ini sangat mahal, tetapi sang apoteker menetapkan harganya 10X lebih mahal dari biaya pembuatan obat tersebut. Untuk pembuatan 1 dosis obat ia membayar $ 200 dan menjualnya $2.000. Suami pasien perempuan, Heinz pergi ke setiap orang yang ia kenal untuk meminjam uang, tetapi ia hanya dapat mengumpulkan $1.000 atau hanya setengah dari harga obat. Ia memberitahu apoteker bahwa istrinya sedang sakit dan memohon agar apoteker bersedia menjual obatnya lebih murah atau membolehkannya membayar setengahnya kemudian. Tetapi sang apoteker berkata ”tidak, aku menemukan obat, dan aku harus mendapatkan uang dari obat itu.” Heinz menjadi nekat dan membongkar toko obat itu untuk mencuri obat bagi istrinya.”
Cerita ini adalah salah satu dari 11 cerita yang dikembangkan oleh
Kohlberg untuk menginvestigasi hakekat pemikiran moral. Setelah membaca
cerita, anak-anak yang menjadi responden menjawab serangkaian pertanyaan
tentang dilema moral. Haruskah Heinz mencuri obat? Apakah mencuri obat
tersebut benar atau salah? Pataskah suami yang baik itu mencuri? Dll.
Berdasarkan penalaran-penalaran yang diberikan oleh responden dalam
merespon dilema moral ini dan dilema moral lain. Dengan adanya cerita di
atas menurut Kohlberg menyimpulkan terdapat 3 tingkat perkembangan
moral, yang masing-masing ditandai oleh 2 tahap.
Konsep kunci untuk memahami perkembangan moral,
khususnya teori Kohlberg , ialah internalisasi yakni perubahan
perkembangan dari perilaku yang dikendalikan secara eksternal menjadi
perilaku yang dikendalikan secara internal.Teori Perkembangan
moral dalam psikologi umum menurut Kohlberg terdapat 3 tingkat dan 6
tahap pada masing-masing tingkat terdapat 2 tahap diantaranya sebagai
berikut :
Tingkat Satu : Penalaran Prakonvensional.
Penalaran Prakonvensional adalah : tingkat yang paling rendah dalam
teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkat ini, anak tidak
memperlihatkan internalisasi nilai-nilai moral- penalaran moral
dikendalikan oleh imbalan (hadiah) dan hukuman eksternal. Dengan kata
lain aturan dikontrol oleh orang lain (eksternal) dan tingkah laku yang
baik akan mendapat hadiah dan tingkah laku yang buruk mendapatkan
hukuman.
Tahap I. Orientasi hukuman dan ketaatan.
Yaitu : tahap pertama yang mana pada tahap ini
penalaran moral didasarkan atas hukuman dan anak taat karena orang
dewasa menuntut mereka untuk taat
Tahap II. Individualisme dan tujuan
Pada tahap ini penalaran moral didasarkan atas imbalan (hadiah)dan
kepentingan sendiri. Anak-anak taat bila mereka ingin taat dan bila yang
paling baik untuk kepentingan terbaik adalah taat. Apa yang benar
adalah apa yang dirasakan baik dan apa yang dianggap menghasilkan
hadiah.
Tingkat Dua : Penalaran Konvensional
Penalaran Konvensional merupakan suatu tingkat internalisasi individual
menengah dimana seseorang tersebut menaati stándar-stándar
(Internal)tertentu, tetapi mereka tidak menaati stándar-stándar orang
lain (eksternal)seperti orang tua atau aturan-aturan masyarakat.
Tahap III. Norma-norma Interpersonal
Yaitu dimana seseorang menghargai kebenaran, keperdulian dan kesetiaan
kepada orang lain sebagai landasan pertimbangan-pertimbangan moral.
Seorang anak mengharapkan dihargai oleh orang tuanya sebagai yang
terbaik.
Tahap IV Moralitas Sistem Sosial
Yaitu dimana suatu pertimbangan itu didasarkan atas pemahaman atuyran sosial, hukum-hukum, keadilan, dan kewajiban.
Tingkat Tiga : Penalaran Pascakonvensional
Yaitu Suatu pemikiran tingkat tinggi dimana moralitas benar-benar
diinternalisasikan dan tidak didasarkan pada standar-standar orang lain.
Seseorang mengenal tindakan-tindakan moral alternatif, menjajaki
pilihan-pilihan, dan kemudian memutuskan berdasarkan suatu kode.
Tahap V. Hak-hak masyarakat versus hak-hak individual
Yaitu nilai-nilai dan aturan-aturan adalah bersifat relatif dan bahwa standar dapat berbeda dari satu orang ke orang lain.
Tahap VI. Prinsip-prinsip Etis Universal
Yaitu seseorang telah mengembangkan suatu standar moral yang didasarkan
pada hak-hak manusia universal. Dalam artian bila sseorang itu
menghadapi konflik antara hukum dan suara hati, seseorang akan mengikuti
suara hati.
Pada perkembangan moral menurut Kohlberg menekankan dan yakin bahwa
dalam ketentuan diatas terjadi dalam suatu urutan berkaitan dengan usia.
Pada masa usia sebelum 9 tahun anak cenderung pada prakonvensional.
Pada masa awal remaja cenderung pada konvensional dan pada awal masa
dewasa cenderung pada pascakonvensional. Demikian hasil teori
perkembangan moral menurut kohlberg dalam psikologi umum.
Ketika kita khususkan dalam memandang teori perkembangan moral dari sisi
pendidikan pada peserta didik yang dikembangkan pada lingkungan sekolah
maka terdapat 3 tingkat dan 6 tahap yaitu :
Tingkat Satu : Moralitas Prakonvensional
Yaitu : ketika manusia berada dalam fase perkembangan prayuwana mulai
dari usia 4-10 tahun yang belum menganggap moral sebagai kesepakatan
tradisi sosial.Yang man dimasa ini anak masih belum menganggap moral sebagai kesepakatan tradisi sosial.
Pada tingkat pertama ini terdapat 2 tahap yaitu :
Tahap 1. Orientasi kepatuhan dan hukuman.
Adalah penalaran moral yang yang didasarkan atas hukuman dan anak-anak
taat karena orang-orang dewasa menuntut mereka untuk taat. Dengan kata
lain sangat memperhatikan ketaatan dan hukum. Dalam konsep moral menurut
Kohlberg ini anak menentukan keburukan perilaku berdasarkan tingkat
hukuman akibat keburukan tersebut. Sedangkan perilaku baik akan
dihubungkan dengan penghindaran dari hukuman.
Tahap 2. Memperhatikan Pemuasan kebutuhan.
Yang bermakna perilaku baik dihubungkan dengan pemuasan keinginan dan
kebutuhan sendiri tanpa mempertimbangkan kebutuhan orang lain.
Tingkat Dua : Moralitas Konvensional
Yaitu ketika manusia menjelang dan mulai memasuki fase perkembangan
yuwana pada usia 10-13 tahun yang sudah menganggap moral sebagai
kesepakatan tradisi sosial.
Pada Tingkat II ini terdapat 2 tahap yaitu :
Tahap 3. Memperhatikan Citra Anak yang Baik
Maksudnya : anak dan remaja berperilaku sesuai dengan aturan dan patokan
moral agar dapat memperoleh persetujuan orang dewasa, bukan untuk
menghindari hukuman.
Semua perbuatan baik dan buruk dinilai berdasarkan tujuannya, jadi ada perkembangan kesadaran terhadap perlunya aturan. Dalam hal ini terdapat pada pendidikan anak.
Semua perbuatan baik dan buruk dinilai berdasarkan tujuannya, jadi ada perkembangan kesadaran terhadap perlunya aturan. Dalam hal ini terdapat pada pendidikan anak.
Pada tahap 3 ini disebut juga dengan Norma-Norma Interpernasional ialah :
dimana seseorang menghargai kebenaran, keperdulian, dan kesetiaan
kepada orang lain sebagai landasan pertimbangan-pertimbangan moral.
Anak-anak sering mengadopsi standar-standar moral orang tuanya sambil
mengharapkan dihargai oleh orang tuanya sebagi seorang anak yang baik.
Tahap 4. Memperhatikan Hukum dan Peraturan.
Anak dan remaja memiliki sikap yang pasti terhadap wewenang dan aturan.Hukum harus ditaati oleh semua orang.
Tingkat Tiga : Moralitas Pascakonvensional
Yaitu ketika manusia telah memasuki fase perkembangan
yuwana dan pascayuwana dari mulai usia 13 tahun ke atas yang memandang
moral lebih dari sekadar kesepakatan tradisi sosial. Dalam artian
disini mematuhi peraturan yang tanpa syarat dan moral itu sendiri
adalah nilai yang harus dipakai dalam segala situasi.
Pada perkembangan moral di tingkat 3 terdapat 2 tahap yaitu :
Tahap 5. Memperhatikan Hak Perseorangan.
Maksudnya dalam dunia pendidikan itu lebih baiknya adalah remaja dan
dewasa mengartikan perilaku baik dengan hak pribadi sesuai dengan aturan
dan patokan sosial.
Perubahan hukum dengan aturan dapat diterima jika ditentukan untuk mencapai hal-hal yang paling baik.. Pelanggaran hukum dengan aturan dapat terjadi karena alasan-alasan tertentu.
Perubahan hukum dengan aturan dapat diterima jika ditentukan untuk mencapai hal-hal yang paling baik.. Pelanggaran hukum dengan aturan dapat terjadi karena alasan-alasan tertentu.
Tahap 6. Memperhatikan Prinsip-Prinsip Etika.
Maksudnya : Keputusan mengenai perilaku-pwerilaku sosial
berdasarkan atas prinsip-prinsip moral, pribadi yang bersumber dari
hukum universal yang selaras dengan kebaikan umum dan kepentingan orang
lain.Keyakinan terhadap moral pribadi dan nilai-nilai tetap melekat
meskipun sewaktu-waktu berlawanan dengan hukum yang dibuat untuk
menetapkan aturan sosial. Contoh : Seorang suami yang tidak punya uang
boleh jadi akan mencuri obat untuk menyelamatkan nyawa istrinya dengan
keyakinan bahwa melestarikan kehidupan manusia merupakan kewajiban moral
yang lebih tinggi daripada mencuri itu sendiri.
Perkembangan moral seorang anak banyak dipengaruhi oleh lingkungannya.
Anak memperoleh nilai-nilai moral dari lingkungannya, terutama dari
orangtuanya. Dia belajar untuk mengenal nilai-nilai dan berperilaku
sesuai dengan nilai-nilai tersebut. Dalam mengembangkan moral anak,
peranan orangtua sangatlah penting, terutama pada waktu anak masih
kecil. Beberapa sikap orangtua yang perlu diperhatikan sehubungan dengan
perkembangan moral anak, antara lain:
1. Konsisten dalam mendidik anak
Ayah dan ibu harus memiliki sikap dan perlakuan yang sama dalam melarang
atau membolehkan tingkah laku tertentu kepada anak. Suatu tingkah laku
anak yang dilarang oleh orangtua pada suatu waktu, harus juga dilarang
apabila dilakukan kembali pada waktu lain.
2. Sikap orangtua dalam keluarga
Secara tidak langsung, sikap orangtua terhadap anak, sikap ayah terhadap
ibu ataupun sebaliknya, dapat mempengaruhi perkembangan moral anak,
yaitu melalui proses peniruan (imitasi). Sikap orangtua yang keras
(otoriter) cenderung melahirkan sikap disiplin semu pada anak, sedangkan
sikap yang acuh tak acuh atau sikap masa bodoh, cenderung mengembangkan
sikap kurang bertanggung jawab dan kurang mempedulikan norma pada diri
anak. Sikap yang sebaiknya dimiliki oleh orangtua adalah sikap kasih
sayang, keterbukaan, musyawarah (dialogis), dan konsisten.
3. Penghayatan dan pengamalan agama yang dianut
Orangtua merupakan panutan (teladan) bagi anak, termasuk panutan dalam
mengamalkan ajaran agama. Orangtua yang menciptakan iklim yang religius
(agamis), dengan cara membersihkan ajaran atau bimbingan tentang
nilai-nilai agama kepada anak, maka anak akan mengalami perkembangan
moral yang baik.
4. Sikap konsisten orangtua dalam menerapkan norma
Orangtua yang tidak menghendaki anaknya berbohong atau berlaku tidak
jujur, maka mereka harus menjauhkan dirinya dari perilaku berbohong atau
tidak jujur. Apabila orangtua tidak mengajarkan kepada anak agar
berperilaku jujur, bertutur kata yang sopan, bertanggung jawab atau taat
beragama, tetapi orangtua sendiri menampilkan perilaku yang sebaliknya,
maka anak akan mengalami konflik pada dirinya, dan akan menggunakan
ketidak konsistenan orangtua itu sebagai alasan untuk tidak melakukan
apa yang diinginkan oleh orangtuanya, bahkan mungkin dia akan
berperilaku seperti orangtuanya.
Tahap-tahap perkembangan moral pada remaja telah mencapai pada tahap
moralitas hasil interaksi yang seimbang yaitu secara bertahap anak
mengadakan internalisasi nilai moral dari orangtuanya dan orang-orang
dewasa di sekitarnya. Pada akhir masa remaja terdapat lima perubahan
yang dapat dilukiskan sebagai berikut:
1. Pandangan
moral remaja mulai menjadi abstrak, menifestasi dari ciri ini adalah
prilaku remaja yang suka saling bernasihat sesama teman dan kesukaannya
pada kata-kata mutiara.
2. Pandangan
moral remaja sering terpusat pada apa yang benar dan apa yang salah.
Sehingga remaja sangat antusias pada usaha-usaha reformasi sosial.
3. Penilaian
moral pada remaja semakin mendasarkan diri pada pertimbangan kognitif,
yang mendorong remaja mulai menganalisis etika sosial dan mengambil
keputusan kritis terhadap berbagai masalah moral yang dihadapinya.
4. Penilaian
moral yang dilakukan remaja menunjukkan perubahan yang bergerak dari
sifat egosentris menjadi sosiosentris, sehingga remaja senang sekali
bila dilibatkan dalam kegiatan memperjuangkan nasib sesama,
kesetiakawanan kelompok yang kadang-kadang untuk ini remaja bersedia
berkorban fisik.
5. Penilaian
moral secara psikis juga berkembang menjadi lebih mendealam yang dapat
merupakan sumber emosi dan menimbulkan ketegangan-ketegangan psikologis.
Sehingga pada akhir masa remaja moral yang dianutnya diharapkan menjadi
kenyataan hidup dan menjadi barang berharga dalam hidupnya.
Apa yang terjadi dalam diri pribadi seseorang hanya dapat didekati
melalui cara-cara tidak langsung, yakni dengan mempelajari gejala dan
tingkah laku seseorang tersebut, maupun membandingkannya dengan gejala
sertra tingkah laku orang lain. Diantara proses kejiwaan yang sulit
untuk dipahami adalah proses terjadinya dan terjelmanya nilai-nilai
hidup dalam diri individu, yang mungkin didahului oleh pengenalan nilai
secara intelektual,disusul oleh penhayatan nilai tersebut, dan kemudian
tumbuh didalam diri seseorang sedemikian rupa kuatnya sehingga seluruh
jalan pikiran, tingkah lakunya serta sikapnya terhadap segala sesuatu di
luar dirinya, bukan saja diwarnai tetapi juga dijiwai oleh nilai
tersebut.
Karena itu, ada kemungkinan bahwa ada individu yang tahu tentang sesuatu
nilai tetap menjadi pengetahuan. Tidak semua individu mencapai tingkat
perkembangan moral seperti yang diharapkan, maka kita dihadapkan dengan
masalah pembinaan. Adapun upaya-upaya yang dilakukan dalam mengembangkan
nilai, moral dan sikap remaja adalah:
1. Menciptakan Komunikasi
Dalam komunikasi didahului dengan pemberian informasi tentang
nilai-nilai dan moral. Anak tidak pasif mendengarkan dari orang dewasa
bagaimana seseorang harus bertingkah laku sesuai dengan norma dan
nilai-nilai moral, tetapi anak-anak harus dirangsang supaya lebih aktif.
Hendaknya ada upaya yang mengikutsertakan remaja dalam pembicaraan dan
dalam pengambilan keputusan keluarga. Sedangkan dalam kelompok sebaya,
remaja turut serta secara aktif dalam tanggung jawab dan penentuan
maupun keputusan kelompok.
Disekolah para remaja hendaknya diberi kesempatan berpartisipasi untuk
mengembangkan aspek moral, misalnya dalam kerja kelompok,sehingga dia
belajar untuk tidak melakukan sesuatu yang akan merugikan orang lain
karena hal ini tidak sesuai dengan nilai atau norma moral.
2. Menciptakan Iklim Lingkungan yang Serasi
Seseorang yang mempelajari nilai hidup tertentu dan moral, kemudian
berhasil memiliki sikap dan tingkah laku sebagai pencerminan nilai hidup
tersebut umunya adalah seseorang yang hidup dalam lingkungan yang
secara positif, jujur, dan konsekuen yang senantiasa mendukung bentuk
tingkah laku yang merupakan pencerminan nilai hidup tersebut. Ini
berarti antara lain, bahwa usaha pengembangan tingkah laku nilai hidup
hendaknya tidak hanya mengutamakan pendekatan-pendekatan intelektual
semata, tetapi mengutamakan adanya lingkungan yang kondusif dimana
factor-faktor lingkungan itu sendiri merupakan penjelmaan yang konkret
dari nilai-nilai hidup tersebut. Karena lingkungan merupakan factor yang
cukup luas dan sangat bervariasi, maka tampaknya yang perlu
diperhatikan adalah lingkungan sosial terdekat terutama mereka yang
berfungsi sebagai pendidik dan Pembina yaitu orang tua dan guru.
Nana Syaodih Sukmadinata, Landsan Psikologi Psoses Pendidikan, PT Remaja Rosdakarya,Bandung:2011 hlm 80
Tidak ada komentar:
Posting Komentar