lita

Cute Blue Flying Butterfly
Cute Blue Flying Butterfly

Senin, 25 Mei 2015

Psykology is a Mystery

TEORI BELAJAR


A.    KONSEP DASAR TEORI BELAJAR
Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini, dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada pembelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan pembelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon. Oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh pembelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.

Memasuki abad ke-19 beberapa ahli mengadakan penelitian eksperimental tentang teori belajar, walaupun pada waktu itu para ahli menggunakan binatang sebagai objek penelitiannya. Penggunaan binatang sebagai objek penelitian didasarkan pada pemikiran bahwa apabila binatang yang kecerdasannya dianggap rendah dapat melakukan eksperimen teori belajar, maka sudah dapat dipastikan bahwa eksperimen itupun dapat berlaku bahkan dapat lebih berhasil pada manusia, karena manusia lebih cerdas daripada binatang.
Menurut Arden N. Frandsen mengatakan bahwa hal yang mendorong seseorang itu untuk belajar antara lain sebagai berikut:
1.      Adanya sifat ingin tahu dan ingin menyelidiki dunia yang lebih luas;
2.      Adanya sifat kreatif yang ada pada manusia dan keinginan untuk maju;
3.      Adanya keinginan untuk mendapatkan simpati dari orang tua, guru, dan teman-teman;
4.      Adanya keinginan untuk memperbaiki kegagalan yang lalu dengan usaha yang baru, baik dengan koperasi maupun dengan kompetensi;
5.      Adanya keinginan untuk mendapatkan rasa aman;
6.      Adanya ganjaran atau hukuman sebagai akhir dari pada belajar.

  
B.    MACAM-MACAM TEORI BELAJAR

Dari berbagai tulisan yang membahas tentang perkembangan teori belajar seperti (Atkinson, dkk. 1997; Gledler Margaret Bell, 1986) memaparkan tentang  teori belajar yang secara umum dapat dikelompokkan  dalam empat kelompok atau aliran meliputi: 

1. Teori Belajar Behavioristik
Pandangan tentang belajar menurut aliran tingkah laku (behavioristik), tidak lain adalah perubahan dalam tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon. Atau dengan kata lain, belajar adalah perubahan prilaku yang dapat diukur, diamati, dan dihasilkan oleh respon pelajar terhadap rangsangan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon. Para ahli yang banyak berkarya dalam aliran ini antara lain; Thorndike, (1911); Wathson, (1963); Hull, (1943); dan Skinner, (1968).

Teori Pavlov dikenal dengan nama Teori Pembiasaan Klasik (Classical Conditioning). Pavlop meneliti proses anjing yang menjadi berliur ketika diiming-imingi daging. Dari hasil penelitiannya, Pavlov membuktikan bahwa perilaku atau respon dapat dimanipulasi melalui variasi stimulus atau rangsangan. Sementara itu, Thorndike (1874-1919) yang menghasilkan Teori Penghubungan atau dikenal dengan “trial and error” atau coba-coba.  Menurut Thorndike, respon akan diberikan berdasarkan asas coba-coba sebagai reaksi terhadap stimulus yang muncul. Oleh karena itu, Thorndike percaya adanya penghargaan dan hukuman serta keberhasilan dan kegagalan. Berdasarkan semua itu, Watson menyimpulkan bahwa teori perilaku memberikan mekanisme yang menjadi landasan dasar terjadinya berbagai dalam kehidupan.

Teori perilaku ini tidak hanya dinyatakan oleh Watson, tetapi juga dibuktikan oleh Skinner (1957) yang menjadi pelopor teori behaviorisme menghasilkan teori operant conditioning. Menurut Skinner, kunci untuk memahami perilaku individu terletak pada pemahaman kita terhadap hubungan antara stimulus satu dengan stimulus yang lainnya, respon yang dimunculkan, dan juga berbagai konsekuensi yang diakibatkan oleh respon tersebut. Skinner setuju dengan pendapat Watson yang mengatakan bahwa belajar merupakan proses perubahan perilaku. Teori ini lahir dari suatu percobaan terhadap seekor tikus. percobaan itu dilakukan dengan cara memasukkan seekor tikus ke dalam sangkar yang di dalamnya diletakkan dua tongkat pengungkit. Di atas punggung sangkar diletakkan dua buah mangkuk, yang satu berisi makananan dan lainnya berisi bedak gatal. Jika tikus menginjak tongkat pengungkit yang pertama sepotong makanan akan jatuh ke dalam sangkar itu. Tetapi jika tikus itu menginjak tongkat pengungkit yang kedua maka bedak gatal akan tertumpah ke dalam sangkar itu. Ternyata tikus itu mampu belajar dari pengalamannya setelah kedua tongkat itu pernah diinjak. Berdasarkan percobaan ini, Skinner menetapkan dan mengakui adanya penguatan.

Kata behavior berasal dari bahasa Inggris yaitu behavior yang artinya tingkah laku atau perilaku. Tingkah laku yang dimaksud bukan hanya tingkah laku fisik, gerak-gerik manusia yang biasa diamati, melainkan juga tingkah laku nonfisik, seperti mendengarkan, berpikir, mencintai, dan sebagainya. Menurut teori belajar behaviorisme, belajar merupakan perubahan tingkah laku hasil interaksi antara stimulus dan respon, yaitu proses menusia untuk memberikan respon tertentu berdasarkan stimulus yang datang dari luar. Stimulus yang disambung dengan respon akan menghasilkan penguatan. Apabila suatu perbuatan lebih sering terjadi maka itulah penguatan positif. Dan apabila perbuatan itu tidak terulang lagi, maka itulah penguatan negatif. Untuk tetap memertahankan itu maka penguatan dilakukan dengan cara memberikan hukuman atau penghargaan.

Ciri dari teori behavioristik adalah mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil, bersifat mekanisme, menekankan peranan lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau respon, menekankan pentingnya latihan, mementingkan mekanisme hasil belajar , mementingkan peranan kemampuan dan hasil belajar yang diperoleh adalah munculnya prilaku yang diinginkan.

Dari semua pendukung teori tingkah laku, mungkn teori Skinner lah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar. Beberapa program pembelajaran seperti Teaching machine, Mathetics, atau program-program lain yang memakai konsep stimulus, respons, dan factor penguat (reinforcement),adalah contoh-contoh program yang memanfaatkan teori skinner. Prinsip belajar Skinner adalah :
a.       Hasil belajar harus segera diberitahukan pada siswa jika salah dibetulkan, jika benar diberi penguat.
b.      Proses belajar harus mengikuti irama dari yang belajar. Materi pelajaran digunakan sebagai sistem modul.
c.       Dalam proses pembelajaran lebih dipentingkan aktivitas sendiri, tidak digunakan hukuman. Untuk itu lingkungan perlu diubah untuk menghindari hukuman.
d.      Tingkah laku yang diinginkan pendidik diberi hadiah dan sebaiknya hadiah diberikan dengan digunakannya jadwal variable ratio reinforcer.
e.       Dalam pembelajaran digunakan shapping.

 2.  Teori Belajar Kognitif
Menurut teori belajar Kognitif pada dasarnya setiap orang dapat bertingkah laku dan mengerjakan segala sesuatu senantiasa dipengaruhi oleh tingkat-tingkat perkembangan dan pemahamannya atas dirinya sendiri. setiap orang memiliki kepercayaan, ide-ide dan prinsip yang dipilih untuk kepentingan dirinya.

a.      Piaget
Menurut Jean Piaget (1975) salah seorang penganut aliran kognitif   yang kuat, bahwa proses belajar sebenarnya terdiri dari tiga tahapan, yakni
1)      Asimilasi, Proses asimilasi adalah proses penyatuan (pengintegrasian) informasi baru ke struktur kognitif yang sudah ada dalam benak siswa.
2)      Akomodasi, Akomodasi adalah penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi yang baru.
3)      Equilibrasi (penyeimbangan) Equilibrasi adalah penyesuain berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi.

b.      Ausubel
Ausubel percaya bahwa “advance organizer” dapat memberikan tiga manfaat;
1)      Dapat menyediakan suatu kerangka konseptual untuk materi belajar yang akan dipelajari oleh siswa.
2)       Dapat berfungsi sebagai jembatan antara apa yang sedang dipelajari siswa saat ini dengan apa yang akan dipelajari siswa, sedemikian rupa sehingga;
3)      Mampu membantu siswa untuk memahami bahan belajar secara lebih mudah

c.       Brunner
Menurut pandangan Brunner (1964) bahwa teori belajar itu bersifat deskriptif, sedangkan teori pembelajaran itu bersifat preskriptif. Misalnya, teori penjumlahan, sedangkan teori pembelajaran menguraikan bagaimana cara mengajarkan penjumlahan.

Dengan teorinya free discovery learning mengatakan bahwa belajar terjadi lebih ditentukan oleh cara seseorang mengatur pesan/informasi, dan bukan ditentukan oleh umur. Menurut Brunner tahap perkembangan kognitif terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh caranya melihat lingkungan, yaitu :
a.       Tahap Enaktif, seseorang melakukan aktivitas-aktivitas dalam upaya untuk memahami lingkungan sekitarnya, artinya dalam memahami dunia sekitarnya anak menggunakan pengetahuan motorik. Misalnya melalui gigitan, sentuhan, pegangan, dsb.
b.      Tahap Ikonik, seseorang memahami objek-objek/ dunianya melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal, maksudnya dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui bentuk perumpamaan (tampil) dan perbandingan (komporasi).
c.       Taham Simbolik, seseorang telah memiliki ide-ide/gagasan-gagasan abstrak yang sangat mempengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa dan logika.

3. Teori Belajar Konstruktivisme
Teori Konstruktivisme  didefinisikan sebagai  pembelajaran  yang  bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Beda dengan teori behavioristik yang memahami hakikat belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus dan respon, sedangkan teori kontruktivisme lebih memahami belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalamannya. Pengetahuan tidak bisa ditransfer dari guru kepada orang lain, karena setiap orang mempunyai skema sendiri tentang apa yang diketahuinya. Pembentukan pengetahuan merupakan proses kognitif dimana terjadi proses asimilasi dan akomodasi untuk mencapai suatu keseimbangan sehingga terbentuk suatu skema yang baru.
Teori konstruktivisme juga mempunyai pemahaman tentang belajar yang lebih menekankan pada proses daripada hasil. Hasil belajar sebagai tujuan dinilai penting, tetapi proses yang melibatkan cara dan strategi dalam belajar juga dinilai penting. Dalam proses belajar, hasil belajar, cara belajar, dan strategi belajar akan mempengaruhi perkembangan tata pikir dan skema berpikir seseorang. Sebagai upaya memperoleh pemahaman atau pengetahuan, siswa ”mengkonstruksi” atau membangun pemahamannya terhadap fenomena yang ditemui dengan menggunakan pengalaman, struktur kognitif, dan keyakinan yang dimiliki.
Dengan demikian, belajar menurut teori konstruktivisme bukanlah sekadar menghafal, akan tetapi proses mengkonstruksi pengetahuan melalui pengalaman. Pengetahuan bukanlah hasil ”pemberian” dari orang lain seperti guru, akan tetapi hasil dari proses mengkonstruksi yang dilakukan setiap individu. Pengetahuan hasil dari ”pemberian” tidak akan bermakna. Adapun pengetahuan yang diperoleh melalui proses mengkonstruksi pengetahuan itu oleh setiap individu akan memberikan makna mendalam atau lebih dikuasai dan lebih lama tersimpan/diingat dalam setiap individu.

Adapun tujuan dari teori ini adalah sebagai berikut:
1.        Adanya motivasi untuk siswa bahwa belajar adalah tanggung jawab siswa itu sendiri.
2.        Mengembangkan kemampuan siswa untuk mengejukan pertanyaan dan mencari sendiri    pertanyaannya.
3.        Membantu siswa untuk mengembangkan pengertian dan pemahaman konsep secara lengkap.
4.        Mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri.
5.        Lebih menekankan pada proses belajar bagaimana belajar itu.
Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa juga disebut teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor anak berpikir melalui gerakan atau perbuatan (Ruseffendi, 1988: 132).
Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989: 159) menegaskan bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan, akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat (Ruseffendi 1988:133). Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan ransangan baru atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu (Suparno, 1996: 7).
Konstruktivis ini dikritik oleh Vygotsky, yang menyatakan bahwa siswa dalam mengkonstruksi suatu konsep perlu memperhatikan lingkungan sosial.  Konstruktivisme ini oleh Vygotsky disebut konstruktivisme sosial (Taylor, 1993; Wilson, Teslow dan Taylor,1993; Atwel, Bleicher & Cooper, 1998).
Ada dua konsep penting dalam teori Vygotsky (Slavin, 1997), yaitu Zone of Proximal Development (ZPD) dan scaffolding.
Zone of Proximal Development (ZPD) merupakan jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau melalui kerjasama dengan teman sejawat yang lebih mampu.
Scaffolding merupakan pemberian sejumlah bantuan kepada siswa selama tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar setelah ia dapat melakukannya (Slavin, 1997).
Scaffolding merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa untuk belajar dan memecahkan masalah.  Bantuan tersebut dapat berupa petunjuk, dorongan, peringatan, menguraikan masalah ke dalam langkah-langkah pemecahan, memberikan contoh, dan tindakan-tindakan lain yang memungkinkan siswa itu belajar mandiri.
Pendekatan yang mengacu pada konstruktivisme sosial (filsafat konstruktivis sosial) disebut pendekatan konstruktivis sosial.  Filsafat konstruktivis sosial memandang kebenaran matematika tidak bersifat absolut dan mengidentifikasi matematika sebagai hasil dari pemecahan masalah dan pengajuan masalah (problem posing) oleh manusia (Ernest, 1991).  Dalam pembelajaran matematika, Cobb, Yackel dan Wood (1992) menyebutnya dengan   konstruktivisme sosio (socio-constructivism), siswa berinteraksi dengan guru, dengan siswa lainnya dan berdasarkan pada pengalaman informal siswa mengembangkan strategi-strategi  untuk merespon masalah yang diberikan.  Karakteristik pendekatan konstruktivis sosio ini sangat sesuai dengan karakteristik RME.
a. Ciri-Ciri Pembelajaran Secara Konstuktivisme
Adapun ciri – ciri pembelajaran secara kontruktivisme adalah:
1.        Memberi peluang kepada murid membina pengetahuan baru melalui penglibatan dalam dunia sebenarnya.
2.        Menggalakkan soalan/idea yang dimulakan oleh murid dan menggunakannya sebagai panduan merancang pengajaran.
3.        Menyokong pembelajaran secara koperatif mengambil kira sikap dan pembawaan murid.
4.        Mengambil kira dapatan kajian bagaimana murid belajar sesuatu ide.
5.        Menggalakkan & menerima daya usaha & autonomi murid.
6.        Menggalakkan murid bertanya dan berdialog dengan murid & guru.
7.        Menganggap pembelajaran sebagai suatu proses yang sama penting dengan hasil pembelajaran.
8.        Menggalakkan proses inkuiri murid melalui kajian dan eksperimen.
b.  Prinsip-Prinsip Konstruktivisme
Secara garis besar, prinsip-prinsip Konstruktivisme yang diterapkan dalam belajar mengajar adalah:
1.        Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri.
2.        Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru kemurid, kecuali hanya dengan keaktifan murid sendiri untuk menalar.
3.        Murid aktif megkontruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep ilmiah.
4.        Guru sekedar membantu menyediakan saran dan situasi agar proses kontruksi berjalan lancar.
5.        Menghadapi masalah yang relevan dengan siswa.
6.        Struktur pembalajaran seputar konsep utama pentingnya sebuah pertanyaan.
7.        Mmencari dan menilai pendapat siswa.
8.        Menyesuaikan kurikulum untuk menanggapi anggapan siswa.
Dari semua itu hanya ada satu prinsip yang paling penting adalah guru tidak boleh hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun pengetahuan didalam benaknya sendiri. Seorang guru dapat membantu proses ini dengan cara-cara mengajar yang membuat informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa, dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide dan dengan mengajak siswa agar menyadari dan menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberikan tangga kepada siswa yang mana tangga itu nantinya dimaksudkan dapat membantu mereka mencapai tingkat penemuan.
c.  Hakikat Anak Menurut  Teori Belajar Konstruktivisme
Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang, melainkan melalui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif anak bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses berkesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan keseimbangan (Poedjiadi, 1999: 61).
Dari pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami bahwa pada tahap tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu berbeda-beda berdasarkan kematangan intelektual anak berkaitan dengan anak dan lingkungan belajarnya menurut pandangan konstruktivisme.
Driver dan Bell (dalam Susan, Marilyn dan Tony, 1995: 222) mengajukan karakteristik sebagai berikut:
1.      Siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki tujuan.
2.      Belajar mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan siswa.
3.      Pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar melainkan dikonstruksi secara personal.
4.      Pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi kelas.
5.      Kurikulum bukanlah sekedar dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran, materi, dan sumber.
Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari teori belajar kognitif. Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya. Belajar merupakan proses aktif untuk mengembangkan skemata sehingga pengetahuan terkait bagaikan jaring laba-laba dan bukan sekedar tersusun secara hirarkis (Hudoyo, 1998: 5).
Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada diri pembelajar dengan faktor ekstern atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku.
Berikut adalah tiga dalil pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap perkembangan intelektual atau tahap perkembangan kognitif atau biasa jugaa disebut tahap perkembagan mental. Ruseffendi (1988: 133) mengemukakan:
Perkembangan intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi dengan urutan yang sama. Maksudnya, setiap manusia akan mengalami urutan-urutan tersebut dan dengan urutan yang sama, tahap-tahap tersebut didefinisikan sebagai suatu cluster dari operasi mental (pengurutan, pengekalan, pengelompokan, pembuatan hipotesis dan penarikan kesimpulan) yang menunjukkan adanya tingkah laku intelektual, dan gerak melalui tahap-tahap tersebut dilengkapi oleh keseimbangan (equilibration), proses pengembangan yang menguraikan tentang interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan struktur kognitif yang timbul (akomodasi).
Berbeda dengan kontruktivisme kognitif ala Piaget, konstruktivisme sosial yang dikembangkan oleh Vigotsky adalah bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik. Penemuan atau discovery dalam belajar lebih mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya seseorang (Poedjiadi, 1999: 62). Dalam penjelasan lain Tanjung (1998: 7) mengatakan bahwa inti konstruktivis Vigotsky adalah interaksi antara aspek internal dan ekternal yang penekanannya pada lingkungan sosial dalam belajar.
Adapun implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak (Poedjiadi, 1999: 63) adalah sebagai berikut:
1.      Tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi.
2.      Kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memcahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari, dan
3.      Peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.
d.  Hakikat Pembelajaran Menurut Teori Belajar Konstruktivisme
Menurut teori belajar konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya, bahwa siswa harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan kata lain, siswa tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru.
Sehubungan dengan hal di atas, Tasker (1992: 30) mengemukakan tiga penekanan dalam teori belajar konstruktivisme sebagai berikut. Pertama adalah peran aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna. Kedua adalah pentingya membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna. Ketiga adalah mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima.
Selain penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam teori belajar konstruktivisme, Hanbury (1996: 3) mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya dengan pembelajaran, yaitu:
1.      Siswa mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengintegrasikan ide yang mereka miliki.
2.      Pembelajaran menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti.
3.      Strategi siswa lebih bernilai, dan
4.      Siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan temannya.
Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tytler (1996: 20) mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai berikut:
1.      Memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri.
2.      Memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif.
3.      Memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru.
4.      Memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa.
5.      Mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka, dan
6.      Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.
Dari beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang mengacu kepada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi.
  e. Kelebihan Dan Kelemahan Teori Konstruktivistik
·         Kelebihan
1.  Berfikir : Dalam proses membina pengetahuan baru, murid berfikir untuk menyelesaikan masalah, menjana idea dan membuat keputusan.
2.   Faham : Oleh ksrana murid terlibat secara langsung dalam mebina pengetahuan baru, mereka akan lebih faham dan boleh mengapliksikannya dalam semua situasi.
3.   Ingat : Oleh karana murid terlibat secara langsung dengan aktif, mereka akan ingat lebih lama semua konsep. Yakin Murid melalui pendekatan ini membina sendiri kefahaman mereka. Justru mereka lebih yakin menghadapi dan menyelesaikan masalah dalam situasi baru.
4.   Kemahiran sosial : Kemahiran sosial diperolehi apabila berinteraksi dengan rakan dan guru dalam membina pengetahuan baru.
5.  Seronok : Oleh kerana mereka terlibat secara terus, mereka faham, ingat, yakin dan berinteraksi dengan sihat, maka mereka akan berasa seronok belajar dalam membina pengetahuan baru.
·         Kelemahan
Dalam bahasan kekurangan atau kelemahan ini mungkin bisa kita lihat dalam proses belajarnya dimana peran guru sebagai pendidik sepertinya kurang begitu mendukung.
DAFTAR RUJUKAN
Budianto. 2010. Teori Belajar dan Implikasi dalam Pembelajaran, (Online), (http://edukasi.kompasiana.com/2010/05/09/teori-belajar-dan-implikasinya-dalam-pembelajarn), diakses 20 mei 2015.
Nanang wahid. 2009. Teori Belajar Konstruktisme, (Online), (http://209.85.175.132/search?q=cache:57Ip5H6 1RWsJ:one.indoskripsi.com/judul-skripsi-makalah-tentang/teori-belajar-konstruktivisme +teori+belajar+bermakna&hl=id&ct=clnk&cd=6&gl=id&client=firefox-a), di akses 20 mei 2015.
Rochmad. 2009. Bermakna, (Online), (http://209.85.175.132/search?q=cache:l5 Mxjna6c1UJ:rochmad-unnes.blogspot.com/2008/02/tinjauan-filsafat-dan-psikologi.html  
  Wigih Adi Wibawa, http://wiare.blogspot.com/2013/02/teori-belajar-konstruktivisme.html , diakses pada tanggal 20 mei 2015
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar